UUPA Tidak Masuk Prolegnas, Aceh Dinilai Bukan Prioritas Pusat

Kupasan.com – Tidak masuknya revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029 menjadi bukti lemahnya posisi tawar politik Aceh di tingkat nasional. Padahal, UUPA yang lahir dari MoU Helsinki 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 merupakan payung hukum utama yang mengatur pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh.

Politisi PDI Perjuangan asal Aceh, Masady Manggeng, menilai ketiadaan revisi UUPA di Prolegnas menunjukkan aspirasi Aceh belum ditempatkan sebagai prioritas oleh Pemerintah Pusat maupun DPR RI.

“Ini alarm keras bahwa kekhususan Aceh berpotensi terpinggirkan jika kita tidak memiliki kekuatan politik yang terdistribusi dengan baik di Senayan,” ujar Masady, Rabu (10/9).

Kata Masady, selain absennya revisi UUPA, lemahnya representasi politik Aceh juga terlihat dari tidak adanya wakil Aceh di Komisi II DPR RI, mitra utama Kementerian Dalam Negeri yang membidangi isu pemerintahan, otonomi daerah, pemilu, hingga kebijakan terkait pelaksanaan UUPA. Hal ini membuat isu-isu strategis Aceh kehilangan saluran advokasi langsung di parlemen.

Masalah semakin kompleks dengan fenomena penumpukan anggota DPR RI asal Aceh di Komisi XIII DPR RI, yang dinilai kurang strategis. Padahal, komisi-komisi vital seperti Komisi II (pemerintahan), Komisi IV (pertanian dan pangan), maupun Komisi V (infrastruktur) sangat krusial bagi agenda pembangunan Aceh.

Masady menekankan perlunya peran aktif Gubernur Aceh dalam melakukan komunikasi politik dengan pimpinan partai nasional agar distribusi anggota DPR RI asal Aceh lebih selaras dengan kepentingan kolektif daerah. Selain itu, DPRA dan Forbes Aceh (forum anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh) harus diperkuat menjadi mesin lobi politik yang sistematis dan konsisten di Senayan.

“Tanpa kerja kolektif antara Gubernur, DPRA, dan Forbes Aceh, maka Aceh akan terus berada dalam posisi defensif. Padahal, kekhususan Aceh seharusnya diperkuat, bukan dilemahkan,” tambahnya.

Menurut Masady, kondisi ini harus dijadikan momentum untuk membangun kesadaran kolektif seluruh elemen politik Aceh. Baik eksekutif, legislatif, maupun perwakilan Aceh di DPR RI dan DPD RI perlu menyatukan langkah.

“MoU Helsinki bukan hanya dokumen damai, tetapi janji politik. Jangan biarkan janji itu berubah menjadi ilusi hanya karena kita absen di ruang pengambilan keputusan nasional,” tegasnya.

Pos terkait