Kupasan.com – Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Aceh Barat Daya (Abdya) Bidang Ketahanan Nasional, Ade Alkausar menyampaikan kecaman keras terhadap kebijakan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, yang merazia truk berplat BL (Aceh) di wilayah Sumut.
“Kebijakan tersebut bukan hanya menyulitkan rakyat, tetapi juga berpotensi mengganggu stabilitas ketahanan nasional. Sebab, hubungan ekonomi, sosial, dan budaya antara Aceh dan Sumatera Utara sudah sejak lama menjadi urat nadi persaudaraan dan bagian tak terpisahkan dari integrasi bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Ade Alkausar, Senin (29/9).
Menurut Ade Alkausar, kebijakan Gubernur Sumut dinilai gegabah dan diskriminatif. Padahal jalan publik tidak boleh diperlakukan eksklusif berdasarkan asal kendaraan. Hal ini bertentangan dengan prinsip kebangsaan dan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Tidak hanya itu, lanjut Ade, kebijakan tersebut juga mengganggu ketahanan ekonomi. Larangan ini berpotensi memutus jalur logistik Aceh–Sumut yang strategis. Akibatnya, harga kebutuhan pokok bisa naik, distribusi barang tersendat, dan aktivitas dagang rakyat lumpuh.
“Mengancam stabilitas sosial-politik. Kebijakan sepihak dapat memicu keresahan, memperlebar sekat antar-daerah, dan menumbuhkan sentimen negatif yang berbahaya bagi persatuan nasional.
Kemudian, kata Ade, kebijakan menantu Jokowi juga tidak mencerminkan jiwa kenegarawanan. Seorang pemimpin daerah mestinya hadir sebagai perekat bangsa, bukan menciptakan blokade yang justru merugikan rakyat dan mengikis kepercayaan publik.
“Kita mendesak Gubernur Sumatera Utara untuk segera mencabut larangan truk plat BL dan menggantinya dengan solusi yang berkeadilan serta berorientasi pada kepentingan rakyat. Dan meminta Pemerintah Pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perhubungan, segera turun tangan meluruskan kebijakan daerah agar tetap sejalan dengan konstitusi dan tidak merusak kohesi bangsa,” ucapnya.
Ade juga mengajak seluruh elemen masyarakat di Aceh maupun Sumatera Utara untuk menempuh jalur dialog, bukan konfrontasi, demi menjaga harmoni, solidaritas, dan integrasi nasional. Mengingatkan bahwa ketahanan nasional bukan hanya soal pertahanan militer, tetapi juga stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Kebijakan diskriminatif seperti ini adalah ancaman nyata terhadap fondasi persatuan bangsa.
“Pemimpin sejati adalah perekat, bukan pemecah. Jangan biarkan jalan raya berubah menjadi tembok pemisah antar-daerah. Rakyat membutuhkan kepastian, keadilan, dan jaminan persatuan—bukan kebijakan emosional yang diskriminatif,” tutupnya.