Kupasan.com – Mutasi terhadap 29 aparatur sipil negara (ASN) yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) belakangan ini menyulut reaksi dari publik.
Bukannya dianggap sebagai penyegaran birokrasi yang sehat, keputusan ini malah memunculkan dugaan adanya aroma politik terutama karena banyak ASN perempuan yang justru dipindah ke daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Bagi para ibu ASN, mutasi ini lebih dari sekadar perubahan lokasi kerja. Ini adalah perubahan ritme hidup yang drastis.
Sebelumnya mereka bisa menjalankan tugas sambil tetap hadir dalam peran penting sebagai ibu dan pengasuh keluarga. Kini, mereka harus menaklukkan puluhan kilometer saban hari hanya demi absen tepat waktu.
Contohnya, seorang penyuluh kesehatan yang sebelumnya bertugas pada Dinas Kesehatan Abdya yang kini ditugaskan di Puskesmas Ie Mirah, Kecamatan Babahrot, dan seorang perawat RSUD Tengku Peukan yang turut dialihkan ke wilayah yang sama.
Jarak tempuh dari Blangpidie ke Desa Ie Mirah Babahrot sekitar 30 kilometer, namun beban yang dirasakan lebih dari itu.
“Kalau ini bukan karena balas dendam politik, lalu apa?” celetuk seorang ASN yang memilih tak disebutkan namanya.
Ia mengungkap bahwa sebagian dari mereka yang dipindahkan adalah sosok-sosok yang tak mendukung sang bupati dalam kontestasi Pilkada lalu.
“Bagi ASN laki-laki, tantangan geografis mungkin lebih mudah ditaklukkan. Tapi bagi para perempuan yang memikul beban ganda sebagai pegawai dan pengatur rumah tangga mutasi ini menjadi beban emosional, fisik, bahkan ancaman keselamatan di perjalanan,” tuturnya.
Menanggapi hal itu, salah seorang tokoh masyarakat Abdya, Zulkarnaen, angkat suara. Ia menilai kebijakan mutasi harus dikaji ulang secara adil dan bijak.
“ASN bukan pion politik. Jangan mainkan mereka di papan catur kekuasaan. Mereka tulang punggung pelayanan masyarakat,” tegasnya.
Zulkarnaen menekankan bahwa kepala daerah seharusnya fokus pada kesejahteraan rakyat dengan membuka peluang kerja baru dan mempercepat pembangunan bukan sekadar merombak barisan ASN dari ujung ke ujung.
“Mutasi memang hak prerogatif kepala daerah. Tapi dalam menjalankannya, harus ada pertimbangan sosial, bukan sekadar pertimbangan emosional,” ujarnya.
Meski begitu, ia mengaku tetap mendukung program-program pemerintah yang berpihak pada rakyat. Tapi ia berharap, proses seperti ini bisa lebih mengedepankan akal sehat daripada kepentingan sesaat.