Kupasan.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Barat Daya (Abdya) telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh untuk menghitung potensi kerugian negara dalam kasus studi banding Tuha Peut yang menelan anggaran dana desa Rp1,5 miliar tahun 2024.
“Penyidik juga telah menemukan dua alat bukti, dan tinggal menunggu hasil audit resmi dari BPKP Aceh untuk penetapan tersangka,” ujar Kajari Abdya, Bima Yudha Asmara, Minggu (6/7).
Menurut Bima, sebelum kasus itu ditingkatkan ke penyidikan pihaknya telah melakukan penyelidikan selama empat bulan. Dimana, Kejari telah memeriksa sebanyak 24 saksi.
Bima juga menyampaikan, untuk motif sementara terdapat penggunaan dana desa yang tidak sesuai dengan asas manfaat dan efisiensi. Pemborosan anggaran melalui kegiatan studi banding serta dugaan gratifikasi terselubung yang melibatkan pihak ketiga secara berulang
Kemudian, penyidik juga telah meminta ke pihak terkait untuk mengembalikan Dana Desa yang diduga disalahgunakan. Namun, Bima menegaskan bahwa pengembalian dana tidak menghapus perbuatan pidana, sebagaimana Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, sehingga proses hukum tetap berjalan.
Dalam penyampaiannya, Kajari Bima menekankan penggunaan Dana Desa wajib mempedomani Permendes No. 7 dan No. 13 Tahun 2023, dengan prioritas untuk mendanai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dan berfokus mendukung penanganan kemiskinan ekstrem, program ketahanan pangan dan hewani, penurunan stunting, serta pengembangan potensi dan karakteristik desa.
Dana Desa, lanjut Bima, salah satunya dilaksanakan melalui swakelola oleh desa untuk mewujudkan kemandirian desa, yang dikembangkan itu kapasitas masyarakat desa, bukan aparatur desa.
“Kalau mau mengembangkan kapasitas aparatur desa, yang melaksanakan pihak Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak menggunakan Dana Desa,” ungkapnya.
Ia juga mengatakan keterlibatan pihak ketiga dalam pelaksanaan kegiatan dana desa sangat dilarang, terlebih kegiatan studi banding atau bimbingan teknis yang dilakukan di luar daerah dianggap menyimpang dari regulasi dan tidak dapat dibenarkan secara hukum.
“Ironisnya, kegiatan ini dilaksanakan dari tahun ke tahun dengan melibatkan pihak ketiga yang sama, bahkan ada indikasi peran serta dari oknum pihak yang seharusnya menjaga, mengarahkan dan membimbing Desa. Aparatur desa merasa terpaksa ikut karena khawatir kalau tidak ikut akan diperiksa. Ini sangat memprihatinkan,” ujar Bima.
Kajari Abdya juga menegaskan bahwa mulai tahun 2025, tidak ada lagi kegiatan studi banding atau bimbingan teknis aparatur desa diluar daerah yang menggunakan Dana Desa dalam bentuk apapun.
Kajari juga menyerukan agar seluruh pihak memahami tugas pokok dan fungsinya masing-masing, serta menjauhkan kepentingan dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG).
Ia mengingatkan bahwa penyusunan regulasi terkait Dana Desa, termasuk dalam Peraturan Bupati, harus dilakukan tanpa adanya kepentingan dan harus berdasarkan peraturan yang lebih tinggi secara cermat dan konsisten.
“Dana Desa adalah amanah. Tidak boleh diselewengkan untuk kepentingan segelintir oknum,” tegasnya.