Kupasan.com – Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Muazam, menyuarakan keprihatinan mendalam atas anjloknya harga tandan buah segar (TBS) sawit yang dibeli jauh di bawah harga acuan pemerintah.
Akibatnya, petani sawit di kabupaten berjulukan Breuh Sigupai mengalami potensi kerugian hingga Rp30,86 miliar setiap bulan.
“Pemerintah Provinsi Aceh telah menetapkan harga TBS umur 10–20 tahun sebesar Rp3.043 per kilogram untuk periode 12–24 Juni 2025. Tapi pabrik-pabrik di Abdya hanya membeli seharga Rp2.400 per kilogram,” ungkap Muazam di Blangpidie, Rabu (18/6).
Ia menjelaskan bahwa luas lahan sawit petani di Abdya mencapai 24 ribu hektare, dengan panen dua kali per bulan dan produktivitas rata-rata satu ton per hektare. Ini berarti total produksi mencapai 48 ribu ton per bulan.
“Selisih harga Rp643 per kilogram itu berarti Rp643 ribu per ton. Kalikan dengan 48 ribu ton, potensi kerugian petani bisa tembus Rp30,86 miliar per bulan,” tegasnya.
Muazam menilai situasi ini diperparah oleh lemahnya pengawasan dari Dinas Pertanian Aceh serta kurangnya perhatian dari DPR Aceh dan DPRK Abdya.
Menurutnya, kondisi pasar sawit yang tidak sehat terus merugikan petani kelapa sawit karena regulasi yang ada di kesampingkan dan tidak dijalankan secara konsisten.
Lebih jauh, ia mendesak pemerintah agar mengambil tindakan nyata terhadap pabrik dan tengkulak yang tidak mematuhi ketetapan harga resmi.
“Kalau tidak ada tindakan tegas, aturan pemerintah akan terus diinjak-injak. Ini bukan cuma soal harga, tapi soal wibawa negara dan perlindungan terhadap petani,” kata Muazam dengan lantang.
Muazam pun memperingatkan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan, masa depan petani sawit di Abdya berada dalam bahaya serius.
“Petani adalah ujung tombak perekonomian daerah. Kalau mereka terus dirugikan, bukan hanya individu yang terdampak, tapi stabilitas ekonomi lokal pun bisa terguncang,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa yang dibutuhkan petani bukan sekadar penetapan harga di atas kertas, melainkan implementasi nyata di lapangan.
“Kami tidak butuh janji, kami butuh tindakan. Supaya petani bisa hidup layak dan aturan tidak hanya jadi formalitas,” pungkasnya.